Minggu, 26 Maret 2017

PERBEDAAN GENDER PADA KARYAWAN TERHADAP LINGKUNGAN KERJA

PERBEDAAN GENDER PADA KARYAWAN TERHADAP LINGKUNGAN KERJA

https://yuristianto.files.wordpress.com/2016/01/logo-ug.png?w=700&h=

NAMA           :  SLAMET DWI JAYA PRASETYA
NPM               :  1A214399
KELAS          :  3EA28
DOSEN          :  ROWLAND BISMARK FERNANDO PASARIBU
MATKUL      :  ETIKA BISNIS


FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Perbedaan-perbedaan individual bisa saja membuat seorang individu itu berkinerja dengan lebih baik daripada individu lainnya. Perbedaan individual tidak lepas dari pengaruh lingkungan seperti pekerjaan, keluarga, komunitas dan masyarakat. Isu mengenai individual behavior and differences ini sangat penting dalam membahas masalah perilaku organisasi. Karyawan yang bergabung dalam sebuah organisasi harus menyesuaikan diri pada sebuah lingkungan baru, orang-orang baru, dan tugas-tugas baru. Bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan situasi dan orang lain utamanya tergantung pada kesiapan psikologisnya dan latar belakang personal. Beberapa wanita lebih baik dalam menjadi salespeople daripada beberapa pria. Sebaliknya, beberapa pria lebih baik dalam menjadi pemberi perhatian daripada beberapa wanita. Pencarian kemiripan dan perbedaan dalam gender tampaknya terus berlanjut karena mayoritas penelitian berbasis organisasi telah dilakukan dengan menggunakan sampel pria (Gibson et al.,2003).
Observasi dan analisis manajer terhadap perilaku individual dan kinerja
memerlukan pertimbangan dari variabel-variabel yang secara langsung
mempengaruhi perilaku individual, atau apa yang dilakukan karyawan. Variabel-
2 variabel individual meliputi kemampuan dan keahlian, latar belakang, dan variabelvariabel demografis seperti gender dan ras. Perilaku seorang karyawan itu sangat
kompleks karena dipengaruhi oleh sejumlah variabel-variabel lingkungan dan banyak
faktor individual, pengalaman dan kejadian yang berbeda. Variabel-variabel
individual seperti kemampuan dan keahlian, kepribadian, persepsi dan pengalaman itu
mempengaruhi perilaku.
Perilaku-perilaku karyawan mengarah pada outcomes (dampak) berupa kinerja jangka panjang dan pertumbuhan personal yang baik, atau sebaliknya dalam kinerja jangka panjang yang buruk dan kurangnya pertumbuhan personal (Gibson et al., 2003). Variabel-variabel individual diklasifikasikan sebagai kemampuan dan keahlian, latar belakang, dan demografis. Tiap klasifikasi variabel ini membantu menjelaskan perbedaan-perbedaan individual dalam perilaku dan kinerja. Klasifikasi-klasifikasi demografis yang paling penting di antaranya adalah gender dan ras. Manajer saat ini
telah menghadapi perubahan demografis yang luas di tempat kerja. Selain hal itu,
diversitas budaya juga dapat mempengaruhi situasi kerja (Gibson et al., 2003). Chen,
Czerwinski, Macredie (2000) menyatakan bahwa topik individual differences
memiliki range aspek yang beragam meliputi kepribadian, kemampuan kognitif, gaya
kognitif, gender, usia, dan domain knowledge. Paper ini akan lebih fokus
membicarakan mengenai gender, khususnya fenomena gender differences yang terjadi
di tempat kerja.
       Peran domestik yang dikaitkan dengan banyak peran perempuan sangat berpengaruh pada pembagian kerja dan status kerja yang rendah dibandingkan dengan laki-laki. Aktifitas pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di lingkungan kerja pada umumnya berbeda, hal ini disebabkan oleh banyaknya aktifitas pekerjaan yang dalam penanganannya berbeda- beda, sehingga menuntut adanya pelaksana kerja yang berubah-ubah. Dalam hal ekonomi rumah tangga memiliki fleksibilitas yang tinggi. Dilihat dari pembagian peran yang saat ini perempuan sangat banyak dijumpai bekerja di sektor industri maupun jasa dan mereka banyak bekerja di luar rumah. Akan tetapi sruktur, jumlah anak, usia anak, serta komposisi anggota keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi sebagian besar perempuan untuk bekerja di dalam rumah padahal perempuan dapat menyumbangkan pendapatan dalam rumah tangga. Beban yang di tanggung oleh perempuan pekerja di pengaruhi juga oleh jumlah struktur keluarga
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, demografis merupakan salah satu
klasifikasi dari variabel-variabel individual yang turut menjelaskan adanya individual
differences. Salah satu isu penting dalam hal demografis ini adalah mengenai gender.
Pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu diperhatikan terkait dengan perbedaan
gender antara lain: apakah pria dan wanita berbeda dalam berperilaku di tempat kerja,
kinerja pekerjaan, gaya kepemimpinan, atau komitmennya? Dan jika perbedaanperbedaan itu memang ada, apakah perbedaan-perbedaan itu signifikan. Hal umum yang telah diterima secara luas adalah bahwa pria dan wanita semenjak lahir telah diperlakukan dengan cara yang berbeda. Riset yang dilakukan Ragins, Townsend, dan Mathis (1998) telah membuktikan bahwa pria dan wanita
sama dalam kemampuan belajar, memori, kemampuan penalaran, kreativitas dan
intelijen. Namun, beberapa orang masih percaya bahwa kreativitas, penalaran, dan
kemampuan belajar antara pria dan wanita itu berbeda.
Ada banyak sekali perdebatan mengenai perbedaan pria dan wanita dalam hal kinerja pekerjaan, absensi, dan tingkat perpindahan. Adapun debat mengenai kinerja pekerjaan bersifat inconclusive. Belum ada data meyakinkan yang menunjukkan bahwa pria lebih baik kinerjanya daripada wanita, ataupun sebaliknya. Satu-satunya area di mana ditemukan perbedaan yang agak konsisten antara pria dan wanita adalah mengenai absensi. Wanita memiliki tingkat absensi yang lebih tinggi karena biasanya ia menjaga dan mengurusi anak-anak, orang tua yang renta, dan pasangannya yang
sakit, sehingga membuatnya absen dari pekerjaan (Farrell dan Stamm, 1983).
Sulit untuk mengukur apakah perubahan-perubahan dalam masyarakat akan
dapat menyebabkan pria dan wanita menjadi lebih serupa. Ketika masyarakat
menekankan perbedaan gender dan memperlakukan pria dan wanita dengan cara yang
berbeda, akan ada beberapa perbedaan dalam hal tersebut sebagai keagresifan dan
perilaku sosial. Namun, ketika masyarakat lebih menekankan pada kesamaan
kesempatan dan perlakuan, banyak perbedaan-perbedaan gender yang hilang seketika
(Elvira dan Cohen, 2001). Dalam pandangan terhadap peran yang dimainkannya, pria dan wanita
mempunyai pandangan yang berbeda. Teori peran gender menyatakan bahwa wanita
lebih melihat perannya di keluarga sebagai bagian dari identitas sosial mereka, jika
dibandingkan dengan pria (Bem, 1993; Gutek, Searle, & Klepa, 1991: Grandey,
Cordeiro, & Crouter, 2005). Ketika peran wanita di tempat kerja semakin meningkat,
harapan yang ditumpukan pada mereka dalam memainkan peran di keluarganya
tidaklah hilang (Hochschild, 1999; Schor, 1991: Grandey, Cordeiro, & Crouter,
2005). Oleh karena itu, ketika pekerjaan mengganggu tuntutan-tuntutan di keluarga,
wanita lebih cenderung mengembangkan sikap negatif terhadap pekerjaan
dibandingkan dengan pria, karena pekerjaan dilihatnya lebih sebagai ancaman bagi
peran sosial sentralnya (Grandey, Cordeiro, & Crouter, 2005). Sebaliknya, masih menurut teori peran gender, pria cenderung tidak menggunakan informasi ini untuk membentuk sikap-sikap kerja karena mereka kurang mengalami ancaman bagi diri jika pekerjaan mengganggu waktu dengan keluarga. Namun, bukan berarti pria tidak mengalami ketidaksenangan dalam hal pekerjaan yang mengganggu keluarga, hanya saja persepsi mengenai pekerjaan yang mengganggu keluarga itu sedikit sekali mengarah pada atribusi menyalahkan karena gangguan tersebut kurang begitu merusak identitas sosialnya, dan oleh karenanya kurang menimbulkan ancaman bagi diri (Lazarus, 1991: Grandey, Cordeiro, & Crouter, 2005).
 Wren (2006) menyatakan bahwa dengan meningkatnya jumlah wanita yang
memegang posisi profesional di tempat kerja, telah ada sejumlah studi yang meneliti
perbedaaan gender di dalam organisasi. Beberapa penelitian telah memeriksa
perbedaan gender dalam beberapa area seperti kepuasan kerja, motivasi kerja,
perpindahan, tekanan peran, dan kinerja (Fogarty, et al 1998; Fugate, et al 1988;
Gable & Reed 1987: Wren, 2006). Literatur yang ada mengenai perbedaan gender
dalam kinerja telah menghasilkan berbagai macam hasil. Beberapa studi menunjukkan
perbedaan yang signifikan dalam kinerja, reward, dan punishment, seperti dalam
penelitian Rosenthal (1995), sementara studi lainnya menunjukkan tidak ada
perbedaan yang esensial, seperti dalam penelitian Ritchie (1996). Wren (2006)
berpendapat bahwa permasalahan pada penelitian yang telah ada ini adalah bahwa
penelitian-penelitian tersebut berfokus pada apakah perbedaan kinerja itu eksis, tanpa
meneliti isu mendasar seperti pengaruh gender pada self-evaluations versus
supervisory performance evaluations, dan penggunaan reward dan punishment oleh
supervisors. Studi-studi yang telah ada mengenai perbedaan gender mengindikasikan
bahwa pada kenyataannya, ada kemungkinan bahwa gender membuat perbedaan
dalam tindakan dan evaluasi tertentu dari supervisory. Salah satu kelemahan pengetahuan yang ada mengenai perbedaan gender di tempat kerja adalah bahwa banyak penelitian yang dilakukan dalam lingkungan laboratory atau buatan, seperti yang dikemukakan Rosenthal (1995).  Banyak peneliti telah menggunakan pelajar atau partisipan yang disewa untuk berpartisipasi dalam lingkungan kerja yang disimulasi. Hanya sedikit penelitian yang dilakukan dalam sebuah setting organisasional yang aktual. Dengan semakin meningkatnya peran wanita sebagai bagian integral di tempat kerja, para manajer harus memeriksa ketergantungan mereka pada pandangan stereotipe yang terkait dengan wanita (Schul dan Wren, 1992: Wren, 2006). Jika perbedaan substansial benar-benar eksis antara pria dan wanita dalam hal evaluasi, reward, atau punishment, maka manajemen harus siap untuk menginisiasikan program yang memberikan kepemimpinan yang lebih efektif. Jika tidak, perlakuan konsisten harus dilakukan di antara pria dan wanita sehingga dapat mencegah penciptaan perbedaan gender yang tidak eksis dengan
sendirinya (Bruning and Snyder 1983: Wren, 2006).
Dalam hal kinerja, beberapa studi seperti Deaux (1979) dan Maccoby and
Jacklin (1974) menemukan bukti yang mengindikasikan bahwa wanita
mengimplementasikan harapan-harapan kinerja lebih rendah daripada pria, khususnya
ketika sebuah tugas dilabeli ”maskulin”. Serupa dengan penelitian ini, Lenney (1977)
juga menemukan bahwa pria cenderung to overstate mengenai kinerjanya sementara
wanita cenderung to undervalue terhadap kontribusinya. Temuan dari penelitian yang
dilakukan Wren (2006) konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa wanita memiliki perasaan ketidakpastian dan kepercayan diri yang rendah
dalam beberapa tugas pekerjaan. Hal ini juga mendukung literatur sebelumnya yang
menempatkan egoisme pada pria yang cenderung mengarah pada pandangan yang
berlebihan terhadap kinerja mereka sendiri (Deaux 1979; Rosenthal, et al 1996).
Studi ini yang dilakukan Wren (2006) ingin meng-update pemahaman mengenai
wanita yang bekerja sebagai profesional, dengan meneliti apakah gender
mempengaruhi perlakuan atau cara di mana seseorang itu dievaluasi, diberi
penghargaan, dan atau dihukum oleh supervisornya. Penelitian Wren (2006)
menemukan bahwa wanita meng-underrate kinerjanya hanya pada satu dari empat
dimensi, yaitu keahlian tugas spesifik. Bairpun begitu, wanita meng-overrate
rencananya atau keahlian organisasional, relatif terhadap rating supervisory. Temuan
ini konsisten dengan penelitian manajemen yang menunjukkan kelonggaran yang
rendah dalam self-ratings wanita, relatif terhadap supervisors (Shore and Thornton
1986).
Sementara itu, pria akan meng-overrate kinerjanya, relatif terhadap
supervisors yang tiba-tiba. Pria memberikan dirinya rating yang lebih tinggi pada tiga
dari empat variabel kinerja yaitu keahlian tugas spesifik, pengembangan hubungan
sosial, dan perencaaan atau organisasi. Temuan ini konsisten dengan penelitian
sebelumnya yang menunjukkan bahwa perbedaan gender dalam kinerja hanya sedikit
memiliki kaitan dengan self-perceptions, namun lebih kepada perbedaan dalam hal
self-presentation (Rosenthal, et al 1996).
 Hasil penelitian Wren (2006) juga menunjukkan lebih sedikit perbedaan gender daripada yang diharapkan yang menimbulkan saran subjektif bahwa wanita terus meminta program khusus untuk memudahkan asimilasinya ke dalam tempat kerja. Studi perbedaan gender dalam supervisory evaluation, rewards, sanksi atau hukuman ini telah menghasilkan berbagai macam hasil, sebagiannya karena penggunaan setting buatan dengan generalizability yang dipertanyakan. Studi pada sejumlah cross section dari organisasi aktual menetapkan bahwa meski perbedaan gender ada pada beberapa
aspek, namun tidaklah sebanyak yang diduga sebelumnya. Sementara itu, penelitian
Lefkowitz (1994) menyimpulkan bahwa pria dan wanita bereaksi serupa terhadap
dunia kerja ketika seseorang mengontrol pengaruh-pengaruh yang keliru dari
perbedaan-perbedaan sistemik dalam pelaksanaan kerja, dan reward yang diterima
oleh wanita jika dibandingkan dengan pria—khususnya berbeda dalam level
pendapatan. Isu gender differences juga terjadi dalam kaitannya dengan dinamika
keterlibatan individu-individu dalam peran-perannya di keluarga dan pekerjaan. . Berdasarkan uraian diatas maka penulisan ini bermaksud untuk membahas tentang “PERBEDAAN GENDER PADA KARYAWAN TERHADAP LINGKUNGAN KERJA”

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang yang dikemukakan diatas,maka masalah dalam penelitian ini adalah :
1.      Apakah yang mempengaruhi perbedaan gender ?
2.      Bagaimana contoh kasus dari perbedaan gender ?

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengaruh perbedaan gender
2.      Untuk mengetahui contoh kasus dari perbedaan gender



BAB II
TELAAH LITERATUR

2.1  Pengertian Gender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9). Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

2.2  Definisi Gender
Pengertian dan definisi Gender. Gender adalah suatu konsep kultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan antara wanita dan pria baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial budaya. Pria dan wanita secara sexual memang berbeda. Begitu pula secara perilaku dan mentalitas. Namun perannya di masyarakat dapat disejajarkan dengan batasan-batasan tertentu. Pengertian gender didefinisikan sebagai aturan atau normal perilaku yang berhubungan dengan jenis kelamin dalam suatu sistem masyarakat. Karena itu gender sering kali di identikan dengan jenis kelamin atau sex. Meski sebenarnya kedua jenis kata ini yaitu Sex dan gender memiliki konsep yang berbeda. Lelaki dan wanita secara sexualitas di bedakan berdasarkan alat kelamin yang dimilikinya. namun secara gender perbedaan tersebut tidak menjamin perbedaan gender. Contohnya: seorang wanita secara penampilan di kenal memiliki perasaan yang halus, penampilan yang lemah gemulai, dan berambut panjang. Dan seorang lelaki dikenal sebagai seseorang yang kuat, jantan perkasa, dan berambut pendek. Lalu jika kedua penampilan tersebut tertukar apakah berarti jenis kelamin mereka juga bertukar? jawabnya adalah tidak. 
Dari contoh diatas maka akan dimungkinkan perpaduan antara sex dan gender. Seorang pria yang terkenal kasar, kuat dan jantan dapat berperilaku seperti wanita yang lemah lembut, halus dan gemulai. Begitu pula sebaliknya. Disinilah peran gender diperlukan. Maka disinilah perbedaan antara sex dan gender dapat dijelaskan. Dimana Sex berorientasi pada ciri-ciri biologis, sedangkan gender berorientasi pada perilaku, mentalitas dan sosial budaya. Jika perbedaan antara sex dan gender direalisasikan maka kemungkinan besar pada biodata seseorang akan muncul satu poin tambahan selain jenis kelamin (sex) yaitu gender. Di zaman modern, identitas sexual seseorang tidak terlalu diutaman, tetapi menggunakan gender sebagai rujukan. Misalnya: Pada pekerjaan yang membutuhkan kekuatan dan ketegasan. Seorang pria yang lemah lembut dan lembek tidak akan dapat memenuhi kriteria yang diperlukan. Tapi seorang wanita yang tegas, perkasa dan memiliki kekuatan dapat menduduki posisi tersebut.

2.3  Pengertian Karyawan
Setiap perusahaan membutuhkan karyawan sebagai tenaga yang menjalankan setiap aktivitas yang ada dalam organisasi perusahaan. Karyawan merupakan aset terpenting yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap kesuksesan sebuah perusahaan. Tanpa mesin canggih, perusahaan dapat terus beroperasi secara manual, akan tetapi tanpa karyawan, perusahaan tidak akan dapat berjalan sama sekali. Karyawan merupakan kekayaan utama dalam suatu perusahaan, karena tanpa adanya keikutsertaan mereka, aktifitas perusahaan tidak akan terlaksana. 
Beberapa pengertian karyawan menurut para ahli:
  1. Menurut Hasibuan (dalam Manulang, 2002), Karyawan adalah orang penjual jasa (pikiran atau tenaga) dan mendapat kompensasi yang besarnya telah ditetapkan terlebih dahulu 
  2. Menurut Subri (dalam Manulang, 2002), Karyawan adalah penduduk dalam usia kerja (berusia 15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut.
2.4  Pengertian Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja adalah kehidupan sosial, psikologi, dan fisik dalam perusahaan yang berpengaruh terhadap pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Kehidupan manusia tidak terlepas dari berbagai keadaan lingkungan sekitarnya, antara manusia dan lingkungan terdapat hubungan yang sangat erat. Dalam hal ini, manusia akan selalu berusaha untuk beradaptasi dengan berbagai keadaan lingkungan sekitarnya. Demikian pula halnya ketika melakukan pekerjaan, karyawan sebagai manusia tidak dapat dipisahkan dari berbagai keadaan disekitar tempat mereka bekerja, yaitu lingkungan kerja. Selama melakukan pekerjaan, setiap pegawai akan berinteraksi dengan berbagai kondisi yang terdapat dalam lingkungan kerja. Lingkungan kerja adalah sesuatu yang ada disekitar para pekerja dan yang mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan (Nitisemito, 1992:25). Selanjutnya menurut Sedarmayati (2001:1) lingkungan kerja merupakan kseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya dimana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok. Kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman.
Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien (Sedarmayanti, 2001:12). Menurut Bambang (1991:122), lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja seorang pegawai. Seorang pegawai yang bekerja di lingkungan kerja yang mendukung dia untuk bekerja secara optimal akan menghasilkan kinerja yang baik, sebaliknya jika seorang pegawai bekerja dalam lingkungan kerja yang tidak memadai dan tidak mendukung untuk bekerja secara optimal akan membuat pegawai yang bersangkutan menjadi malas, cepat lelah sehingga kinerja pegawai tersebut akan rendah. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada disekitar pegawai pada saat bekerja, baik berbentuk fisik atau non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaannya saat bekerja.
Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan kinerja karyawan. Karena Lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap karyawan didalam menyelesaikan pekerjaan yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja oragnisasi. Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik apabila karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Oleh karena itu penentuan dan penciptaan lingkungan kerja yang baik akan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya apabila lingkungan kerja yang tidak baik akan dapat menurunkan motivasi serta semangat kerja dan akhirnya dapat menurunkan kinerja karyawan. Kondisi dan suasana lingkungan kerja yang baik akan dapat tercipta dengan adanya penyusunan organisasi secara baik dan benar sebagaimana yang dikatakan oleh Sarwoto ( 1991 ) bahwa suasana kerja yang baik dihasilkan terutama dalam organisasi yang tersusun secara baik, sedangkan suasana kerja yang kurang baik banyak ditimbulkan oleh organisasi yang tidak tersusun dengan baik pula. Dari pendapat tersebut dapat diterangkan bahwa terciptanya suasana kerja sangat dipengaruhi oleh struktur organisasi yang ada dalam organisasi tersebut.

















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengaruh Perbedaan Gender
      Subhan (2004) menuliskan dalam artikelnya bahwa gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan, sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang
dibentuk atau dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai
perkembangan zaman. Sementara itu, ada istilah lain yang dianggap banyak orang memiliki arti atau makna yang serupa dengan gender, yaitu seks. Padahal, kedua istilah ini memiliki makna yang berbeda. Seks (kodrat) adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Seks merupakan property variable, yang bersifat given. Oleh karena itu, ia tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya (Subhan, 2004). Dengan demikian, perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah bahwa
gender itu dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat,
dan bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Lain halnya dengan
seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa,
berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan
Tuhan (Subhan, 2004). Sayangnya, gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila
dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan
dibandingkan laki-laki (Subhan, 2004).
3.2 Contoh Kasus Dari Perbedaan Gender
      Mahasiswi Jadi Korban Pelecehan Seksual di Busway (kutipan dari internet) 03 Aug 2010 Jakarta, Pelita Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah dan Trisakti menjadi korban pelecehan seks oleh PNS BPKP DA, ketika korban naik bus TransJakarta darishelter Cempaka Putih menuju Harmoni. Tersangka pada awalnya mencium tangan korban saat bus melakukan pengereman mendadak, namun melihat korban tak melawan, tersangka melanjutkan aksinya lebihjauh hingga meraba payudara. Akibat merasa dibiarkan, DA pun terus saja menggerayangi kedua mahasiswi tersebut. Pelaku adalah seorang pegawai negeri yang harusnya menjadi panutan masyarakat. Dikutip dari (http://bataviase.co.id/node/323608) via google.com Contoh kasus ini adalah bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai kasus kekerasan gender. Kasus ini sering terjadi dikalangan perempuan itu sendiri menunjukan ketidaksetaraan gender sering terjadi dimasyarakat jadi dilihat dari prospek teori kasus gender dibagi menjadi dua yaitu Teori Fungsional Struktural dan teori Konflik. Kasus ini bisa dimasukan kedalam dua teori diatas tetapi lebih utama dan pas terhadap kasus pelecehan ini adalah Teori Konfik mengapa? Teori konfik itu membahas tentang gagasan atau nilai nilai selalu dipergunakan dalam menguasai kedudukan laki laki terhadap perempuan yang mengubah tingkatnya bisa menilai bahwa laki laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan.
Berdasarkan contoh kasus diatas menunjukan sikap para laki laki lebih hebat daripada perempuan sehingga laki laki berani melakukan hal tersebut. Padahal didalam teori konflik memang menjelaskan bagaimana kepentingan (interest) dan kekuatan (power) yang merupakan hal terpenting dari hubungan antara laki laki dan perempuan. Oleh sebab itu contoh kasus diatas akan menimbulkan konflik yang berakibat mengubah posisi dan hubungan antara laki laki dan perempuan . dua hal besar faktor konflik : Kepentingan (interest) : Laki laki terhadap nafsu dan syahwat untuk melecehkan perempuan itu muncul dari perempuannya itu sendiri karena penampilan atau style nya yang menimbulkan nafsu syahwat laki laki muncul diantara itu juga faktor atau keadaan didalam angkutan umum yang penuh sehingga bisa menghidupkan peluang. Disebutkan juga dalam aliran feminis radikal dalam kelompok teori bahwa penguasaan fisik laki laki terhadap perempuan yang melecehkan kaum perempuan adalah bentuk penindasan terhadap perempuan tetapi menurut teori konfik hal ini adalah kepentingan atau interest laki laki terhadap hasratnya pada perempuan yang belum terpenuhi. Kekuatan (power) : Laki laki pada dasarnya memiliki kekuatan yang lebih dibanding perempuan,tetapi setelah ada emansipasi wanita muncul argument bahwa perempuan dengan laki laki derajatnya sama tetapi pada dasarnya power yang menentukna derajat seseorang jaman sekarang, selama para laki laki mengaggap dirinya paling kuat dan tertinggi wanita akan selalu dilecehkan seperi yang terjadi didalam contoh diatas perempuan atau mahasiswa selalu terkena kasus pelecehan seksual karena laki laki merasa memiliki power yang besar terhadap perempuan sehingga peristiwa itu dapat terjadi apalagi terjadi di dalam busway yang sehari hari digunakan warga Jakarta jika pergi ke kampus atau kantor sisi padat nya menjadi tameng terhadap "power of men" itu sendiri. 


















BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, politik, hankam dan HAM berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diatasi, maka ketimpangan atau kesenjangan pada kondisi dan posisi perempuan tetap saja akan terjadi. Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi.










DAFTAR PUSTAKA

ADITYA ELMA MUNCAR, September 2009,” Perbedaan Persepsi Gender
Pada Mantan Staf Profesional Kantor Akuntan Publik”, Vol. 11,No. 2

KB Dwi Hastjarja, April 2004,” STRES DI TEMPAT KERJA: PERBANDINGAN ANTARA GENDER DENGAN PEKERJAANNYA”, Vol. 4,No. 1

Nilasari B. Medina, Agustus 2008,”PENGARUH PERBEDAAN USIA DAN GENDER ATASAN-BAWAHAN TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN GRAPARI TELKOMSEL, JAKARTA”, Vol. 8,No. 2

Nuqul Fathul Lubabin, 2009,”PERBEDAAN PENILAIAN KEADILAN KARYAWAN DITINJAU DARI JENIS KELAMIN”, Vol. IV,No. 2